Nasib Batik Pekalongan Mencari Pasar Alternatif untuk Bisa Terus Hidup

Batik adalah satu dari sekian banyak produk yang sudah turun temurun menjadi trade mark Kota Pekalongan, selain Solo dan Yogyakarta. Saat ini, menurut data Dinas Koperasi dan UKM Kota Pekalongan, 43.000 warga kota itu bekerja di sektor industri batik.
Karena menggantungkan hidupnya di sektor ini, tak heran jika para pengusaha di sana sangat terpukul ketika Pasar Tanah Abang Blok A terbakar beberapa waktu lalu dan Bali diguncang bom. Pasalnya, di dua tempat itu, merupakan pasar utama produk para perajin, di samping Surabaya, Medan, dan Bandung.
Menurut Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kota Pekalongan, Ny. Candra Herawati, yang ditemui SH, Minggu (20/2) lalu, di Pasar Sunan Giri Rawamangun, Jaktim, akibat dua peristiwa itu, pendapatan para perajin batik mengalami penurunan hingga 40 persen.
“Ketika Pasar Tanah Abang Blok A terbakar, dan kasus Bom Bali, sektor industri batik di Pekalongan sangat terpuruk hingga kurang lebih 40 persen. Berawal dari dua kasus itulah, akhirnya kami menyepakati untuk mencari pasar alternatif, dalam upaya untuk memperjuangkan kelangsungan batik yang menjadi ciri khas Kota Pekalongan,” paparnya.
Faturohman, warga Jalan Toba 37, Kota Pekalongan, adalah satu dari sekian ribu pengusaha batik yang merasa terimbas dengan dua peristiwa besar itu. Meski, tidak sampai bangkrut, namun kala itu, dia harus memutar otak untuk menafkahi seratus perajin yang setiap harinya bekerja di perusahaan batik miliknya. Bagi Faturohman, membuat batik adalah jalan hidupnya, di samping aktivitasnya di dunia politik. Saat ini dia tercatat sebagai anggota DPRD Kota Pekalongan dari Fraksi Karya Amanat Keadilan.
Ketika ditemui SH, di sela-sela peresmian Pasar Sunan Giri Rawamangun sebagai bursa batik Pekalongan, Minggu (20/2) lalu, pemilik usaha batik dengan merk Nulaba ini, mengaku bisa membatik karena warisan leluhur. “Saya ini berasal dari keluarga pembuat batik,” ujarnya.

Mencari Terobosan
Sejak dua peristiwa besar itu, para pengusaha batik di Pekalongan, termasuk Faturohman selalu berusaha mencari terobosan baru, dengan menyewa stan atau kios di pasar tradisional dan modern di kota besar seperti Surabaya, Medan, dan Bandung, di samping Bali dan Jakarta sebagai pasar utama.
“Diresmikannya Pasar Sunan Giri Rawamangun lantai I sebagai bursa batik Pekalongan merupakan salah satu bentuk kerja sama antara Dinas Koperasi dan UKM, para pengusaha dan PD Pasar Jaya berharap bisnis batik Pekalongan bisa pulih dari keterpurukan,” kata Faturohman, yang selama ini menyuplai para pedagang grosir di Pasar Tanah Abang dan Jatinegara.
Ketika ditanya soal permodalan, menurut Faturohman, sekarang ini para pengusaha di sana termasuk dirinya tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan kredit dari bank.
Pada tahun 1975, ketika baru dipercaya untuk menjalankan bisnis ini, modal yang diberikan orangtuanya saat itu kurang dari satu juta rupiah. Kendati demikian, kala itu bank sudah percaya pada perusahaan yang dijalankan dan memberi kredit lunak sebesar Rp 2 juta.
Berbekal modal awal dan uang kredit dari bank itulah, Faturohman akhirnya mampu mengembangkan diri menjadi satu dari sekitar ribu sektor industri batik Pekalongan yang cukup didengar dan dikenal oleh konsumen dan para pedagang grosir di pasar-pasar yang ada di Tanah Air, utamanya Tanah Abang, Jatinegara Mester, dan ITC Cempaka Mas serta pasar-pasar lainnya di kota besar. Sekarang ini juga sudah mulai diekspor ke Amerika, Eropa, Afrika, dan Asia.
“Sekarang ini, industri batik yang saya kelola mendapat kucuran kredit dari bank sebesar Rp 100 juta. Jujur saja, kalau sekarang bank berlomba-lomba memberi kredit tidak seperti dulu, asal jelas peruntukannya,” jelas Faturohman.
Soal perputaran modal dan keuntungan yang didapat setiap bulannya, kata Faturohman, sekarang ini sudah mencapai sekitar Rp 400 jutaan. Dari jumlah itu, setelah dipotong berbagai macam kebutuhan termasuk membayar tenaga kerja dan sewa kios di pasar yang ada di lima kota, keuntungan bersih setiap bulannya tinggal Rp 35 juta hingga Rp 40 juta.
Ketika disinggung soal motif dan corak, Faturohman mengatakan perajin batik sekarang ini harus selalu kreatif dan berinovasi, bila ingin bisnisnya tetap berjalan. Mengingat, semua itu adalah tuntutan pasar yang mau tidak mau harus diikuti, jika tidak ingin berhenti di tengah jalan.


source : http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2005/0226/ukm2.html


***Nasib Batik Pekalongan Mencari Pasar Alternatif untuk Bisa Terus Hidup***

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Nasib Batik Pekalongan Mencari Pasar Alternatif untuk Bisa Terus Hidup"

Post a Comment